Belum
sempat aku menjawab, suster menyuruh Vina keluar dari ruangan karena lukaku
akan di bersihkan. Aku berpikir dan berusaha
memahami apa yang terjadi. Aku ingat, Prabu memukulku. Dia memintaku menjauhi
Tian. Tapi aku tak mengerti dari siapa dia bisa tahu bahwa yang mengirim e-mail
itu aku? Aku berusaha berpikir. Lalu aku ingat. Vina.
“Raka,
aku dengar yang memukulmu itu Prabu ya? Aku sudah pernah bilang jangan suka
Tian lagi. Jadinya begini kan.” Ucap Vina ketika memasuki ruangan.
“Apa
aku salah kalau aku suka Tian? Vina, kita ini sahabat dari kecil. Kamu bilang
akan selalu mendukungku? Tapi kenapa sekarang begini?” Tanyaku sambil menahan
emosi.
“Aku
sudah bilang Ka, dia bukan anak yang baik buat kamu!” Ucap Vina membentak.
“Aku
tahu, tapi bukan begini! Kamu kan yang bilang ke Prabu?! Karena kamu kan Prabu
marah ke aku?! Aku pikir kita sahabat Vin!” Bentakku lebih keras lagi.
“Maaf,
aku tidak pernah mau melihatmu terluka Ka. Raka, kamu tidak pernah sekasar
ini.” Kata Vina terbata-bata di antara isakan tangisnya yang semakin kencang.
“Kamu
kelewatan Vin! Keluar dari sini sekarang!” Ucapku. Kemudian Vina berdiri dan berjalan
menuju pintu.
“Tunggu!”
Panggilku. Aku menulis harapanku di atas kertas berbentuk hati berwarna biru. “Ini
harapanku!” Tanganku mengulur menyerahkan pada Vina. Vina berbalik dan berjalan
mengambil kertas itu.
“Baca
sekarang.” Perintahku.
“Tapi
Ka.” Ucapnya sambil memandangku dengan tatapan memelas.
“Aku
tidak peduli dengan aturan itu. Baca sekarang!” Perintahku lagi.
“Pergi..
Dan ja..ngan per..nah kembali. Ki..ki..ta bukan sahabat lagi.” Vina membaca
sambil berurai air mata. Dia menatapku dengan tatapan menyedihkan. Aku membuang
muka. Kemudian dia berlari keluar.
Seminggu
aku opname di rumah sakit karena luka yang cukup serius di kepalaku. Hari ini
aku kembali masuk sekolah. Aku masih sering memperhatikan Titian. Namun Prabu
selalu ada di sampingnya. Mengawasiku dan terkadang menatapku dengan tatapan
ingin membunuh.
“Hai
Ka. Sudah sehat rupanya.” Sapa Andre.
“Sudah
cukup membaik.” Jawabku.
“Nanti
futsal yuk?” Ajak Andre. Sejenak aku berpikir akan menolaknya karena harus
mengantar Vina pulang. Lalu beberapa detik kemudian aku ingat, aku dan Vina
bukan lagi sahabat.
“Ayo.”
Jawabku.
Pukul
21.30 aku baru akan pulang. Aku melihat layar HPku. Sebuah pesan dari Vina
sekitar sejam yang lalu. Aku membukanya. ‘Mama mencarimu, cepat pulang beliau
khawatir’. Lalu aku menghapusnya.






0 komentar:
Posting Komentar