Aku tersadar dari
lamunanku. Ku lihat hujan sudah reda. Ibu menangis menatapku dan aku berjalan
memeluknya. Aku sadar dengan apa yang terjadi. Pikiranku kembali ke dunia
nyata. Aku berlari ke kamar. Berganti baju dan bersiap berangkat kerja.
“Kamu cantik hari ini
Fel.” Ucap Kris.
“Terima kasih.” Jawabku
singkat.
Kris adalah sahabatku,
sahabat Alan juga tentunya. Dia sangat baik. Namun akhir-akhir ini aku jarang
bertemu dengannya. Dia terlihat sangat sibuk. Seperti sedang mempersiapkan
sebuah pesta pernikahan. Aku bahkan tidak tahu apakah dia sudah punya pacar.
Aku kurang memperhatikannya semenjak hari naas itu.
Pulang dari kantor aku
bergegas ke rumah. Aku berjalan menuju lift sambil melamun. Tanpa ku sadari di
sebelahku sudah ada Kris dan Devi, rekan kerja Kris. Kami memasuki lift
bersamaan.
“Kamu mau menikah?
Siapa calonnya?” Tanyaku pada Kris.
“Itu loh Fel, Kris lagi
dekat sama Monika. Dia mungkin calonnya.” Ujar Devi.
Kris hanya
tertawa.mendengar ucapan Devi. Kemudian mereka bergurau. Aku berada di sudut
ruangan lift ini dengan posisi Devi memunggungiku. Aku menyembunyikan wajahku. Membicarakan
tentang pernikahan membuatku mengingat Alan. Mengingat semua kenangan yang
telah terjadi.
Seminggu yang lalu,
Alan menelponku dan memintaku pergi ke
rumahnya. Aku menurutinya. Rupanya Alan sedang mempersiapkan undangan
pernikahan kami yang akan di selenggarakan minggu depan. Alan juga memintaku
memilih bintang tamu atau hiburan untuk acara pernikahan kami. Dia hanya ingin
aku bahagia di hari bersejarah itu.
Tiga hari berlalu. Aku
belum bertemu Alan lagi. Tiba-tiba Alan menelponku sambil marah-marah. Dia
bilang semua persiapan tidak maksimal. Alan menjemputku menuju tempat wedding
organizer yang dia percayakan untuk pernikahan kami.
Alan merasa sangat
kecewa dan marah. Untuk pertama kalinya aku melihat Alan seperti ini. Alan
menyetir mobil dengan kencang di bawah tetesan air hujan.
“Dear, awas lampu merah!”
teriakku.
Semua sudah terlambat.
Alan membanting setir ke kiri ketika melihat truk melintang di depan kami.
Suara klakson dan ban berdecit menjadi satu. Aku melihat wajah Alan
samar-samar. Dan semua menjadi gelap seketika. Aku tak sadarkan diri.
Aku terbangun di atas
tempat tidur di sebuah kamar rumah sakit dengan memar di pelipis dan tanganku.
Aku melihat sekeliling dan mencari Alan. Ibu mengerti gelagatku dan mengantarku
ke ruang ICU. Aku lihat Alat terbaring disana menatapku dengan senyuman. Aku membalasnya
dengan tersenyum sambil berurai air mata. Itu adalah senyum terkhir Alan
sebelum beberapa detik kemudian dia menutup matanya.
Hari itu di antara
hujan aku berada di pemakaman Alan. Menangis tersedu-sedu seakan tak percaya dia
telah tiada. Hari ini hujan menemaniku dalam kesedihan dan membuatku kehilangan
orang yang sangat aku sayang.
Alan juga tentunya. Dia sangat baik. Namun akhir-akhir ini aku jarang
bertemu dengannya. Dia terlihat sangat sibuk. Seperti sedang mempersiapkan
sebuah pesta pernikahan. Aku bahkan tidak tahu apakah dia sudah punya pacar.
Aku kurang memperhatikannya semenjak hari naas itu.
Pulang dari kantor aku
bergegas ke rumah. Aku berjalan menuju lift sambil melamun. Tanpa ku sadari di
sebelahku sudah ada Kris dan Devi, rekan kerja Kris. Kami memasuki lift
bersamaan.
“Kamu mau menikah?
Siapa calonnya?” Tanyaku pada Kris.
“Itu loh Fel, Kris lagi
dekat sama Monika. Dia mungkin calonnya.” Ujar Devi.
Kris hanya
tertawa.mendengar ucapan Devi. Kemudian mereka bergurau. Aku berada di sudut
ruangan lift ini dengan posisi Devi memunggungiku. Aku menyembunyikan wajahku. Membicarakan
tentang pernikahan membuatku mengingat Alan. Mengingat semua kenangan yang
telah terjadi.
Seminggu yang lalu,
Alan menelponku dan memintaku pergi ke
rumahnya. Aku menurutinya. Rupanya Alan sedang mempersiapkan undangan
pernikahan kami yang akan di selenggarakan minggu depan. Alan juga memintaku
memilih bintang tamu atau hiburan untuk acara pernikahan kami. Dia hanya ingin
aku bahagia di hari bersejarah itu.
Tiga hari berlalu. Aku
belum bertemu Alan lagi. Tiba-tiba Alan menelponku sambil marah-marah. Dia
bilang semua persiapan tidak maksimal. Alan menjemputku menuju tempat wedding
organizer yang dia percayakan untuk pernikahan kami.
Alan merasa sangat
kecewa dan marah. Untuk pertama kalinya aku melihat Alan seperti ini. Alan
menyetir mobil dengan kencang di bawah tetesan air hujan.
“Dear, awas lampu merah!”
teriakku.
Semua sudah terlambat.
Alan membanting setir ke kiri ketika melihat truk melintang di depan kami.
Suara klakson dan ban berdecit menjadi satu. Aku melihat wajah Alan
samar-samar. Dan semua menjadi gelap seketika. Aku tak sadarkan diri.
Aku terbangun di atas
tempat tidur di sebuah kamar rumah sakit dengan memar di pelipis dan tanganku.
Aku melihat sekeliling dan mencari Alan. Ibu mengerti gelagatku dan mengantarku
ke ruang ICU. Aku lihat Alat terbaring disana menatapku dengan senyuman. Aku membalasnya
dengan tersenyum sambil berurai air mata. Itu adalah senyum terkhir Alan
sebelum beberapa detik kemudian dia menutup matanya.
Hari itu di antara
hujan aku berada di pemakaman Alan. Menangis tersedu-sedu seakan tak percaya dia
telah tiada. Hari ini hujan menemaniku dalam kesedihan dan membuatku kehilangan
orang yang sangat aku sayang.
“Tenanglah aku akan
menjagamu dan menyayangimu selalu.” Suara lirih berbisik di telingaku.
Aku menoleh namun tak
ku dapati siapapun di belakangku. Mulai detik itu juga aku membenci saat ketika
hujan datang.
0 komentar:
Posting Komentar