Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Kamu hujanku, 2



Aku tersadar dari lamunanku. Ku lihat hujan sudah reda. Ibu menangis menatapku dan aku berjalan memeluknya. Aku sadar dengan apa yang terjadi. Pikiranku kembali ke dunia nyata. Aku berlari ke kamar. Berganti baju dan bersiap berangkat kerja.
“Kamu cantik hari ini Fel.” Ucap Kris.
“Terima kasih.” Jawabku singkat.
Kris adalah sahabatku, sahabat Alan juga tentunya. Dia sangat baik. Namun akhir-akhir ini aku jarang bertemu dengannya. Dia terlihat sangat sibuk. Seperti sedang mempersiapkan sebuah pesta pernikahan. Aku bahkan tidak tahu apakah dia sudah punya pacar. Aku kurang memperhatikannya semenjak hari naas itu.
Pulang dari kantor aku bergegas ke rumah. Aku berjalan menuju lift sambil melamun. Tanpa ku sadari di sebelahku sudah ada Kris dan Devi, rekan kerja Kris. Kami memasuki lift bersamaan.
“Kamu mau menikah? Siapa calonnya?” Tanyaku pada Kris.
“Itu loh Fel, Kris lagi dekat sama Monika. Dia mungkin calonnya.” Ujar Devi.
Kris hanya tertawa.mendengar ucapan Devi. Kemudian mereka bergurau. Aku berada di sudut ruangan lift ini dengan posisi Devi memunggungiku. Aku menyembunyikan wajahku. Membicarakan tentang pernikahan membuatku mengingat Alan. Mengingat semua kenangan yang telah terjadi.

Seminggu yang lalu, Alan menelponku dan memintaku pergi  ke rumahnya. Aku menurutinya. Rupanya Alan sedang mempersiapkan undangan pernikahan kami yang akan di selenggarakan minggu depan. Alan juga memintaku memilih bintang tamu atau hiburan untuk acara pernikahan kami. Dia hanya ingin aku bahagia di hari bersejarah itu.
Tiga hari berlalu. Aku belum bertemu Alan lagi. Tiba-tiba Alan menelponku sambil marah-marah. Dia bilang semua persiapan tidak maksimal. Alan menjemputku menuju tempat wedding organizer yang dia percayakan untuk pernikahan kami.
Alan merasa sangat kecewa dan marah. Untuk pertama kalinya aku melihat Alan seperti ini. Alan menyetir mobil dengan kencang di bawah tetesan air hujan.
“Dear, awas lampu merah!” teriakku.
Semua sudah terlambat. Alan membanting setir ke kiri ketika melihat truk melintang di depan kami. Suara klakson dan ban berdecit menjadi satu. Aku melihat wajah Alan samar-samar. Dan semua menjadi gelap seketika. Aku tak sadarkan diri.
Aku terbangun di atas tempat tidur di sebuah kamar rumah sakit dengan memar di pelipis dan tanganku. Aku melihat sekeliling dan mencari Alan. Ibu mengerti gelagatku dan mengantarku ke ruang ICU. Aku lihat Alat terbaring disana menatapku dengan senyuman. Aku membalasnya dengan tersenyum sambil berurai air mata. Itu adalah senyum terkhir Alan sebelum beberapa detik kemudian dia menutup matanya.
Hari itu di antara hujan aku berada di pemakaman Alan. Menangis tersedu-sedu seakan tak percaya dia telah tiada. Hari ini hujan menemaniku dalam kesedihan dan membuatku kehilangan orang yang sangat aku sayang.
Alan juga tentunya. Dia sangat baik. Namun akhir-akhir ini aku jarang bertemu dengannya. Dia terlihat sangat sibuk. Seperti sedang mempersiapkan sebuah pesta pernikahan. Aku bahkan tidak tahu apakah dia sudah punya pacar. Aku kurang memperhatikannya semenjak hari naas itu.
Pulang dari kantor aku bergegas ke rumah. Aku berjalan menuju lift sambil melamun. Tanpa ku sadari di sebelahku sudah ada Kris dan Devi, rekan kerja Kris. Kami memasuki lift bersamaan.
“Kamu mau menikah? Siapa calonnya?” Tanyaku pada Kris.
“Itu loh Fel, Kris lagi dekat sama Monika. Dia mungkin calonnya.” Ujar Devi.
Kris hanya tertawa.mendengar ucapan Devi. Kemudian mereka bergurau. Aku berada di sudut ruangan lift ini dengan posisi Devi memunggungiku. Aku menyembunyikan wajahku. Membicarakan tentang pernikahan membuatku mengingat Alan. Mengingat semua kenangan yang telah terjadi.
Seminggu yang lalu, Alan menelponku dan memintaku pergi  ke rumahnya. Aku menurutinya. Rupanya Alan sedang mempersiapkan undangan pernikahan kami yang akan di selenggarakan minggu depan. Alan juga memintaku memilih bintang tamu atau hiburan untuk acara pernikahan kami. Dia hanya ingin aku bahagia di hari bersejarah itu.
Tiga hari berlalu. Aku belum bertemu Alan lagi. Tiba-tiba Alan menelponku sambil marah-marah. Dia bilang semua persiapan tidak maksimal. Alan menjemputku menuju tempat wedding organizer yang dia percayakan untuk pernikahan kami.
Alan merasa sangat kecewa dan marah. Untuk pertama kalinya aku melihat Alan seperti ini. Alan menyetir mobil dengan kencang di bawah tetesan air hujan.
“Dear, awas lampu merah!” teriakku.
Semua sudah terlambat. Alan membanting setir ke kiri ketika melihat truk melintang di depan kami. Suara klakson dan ban berdecit menjadi satu. Aku melihat wajah Alan samar-samar. Dan semua menjadi gelap seketika. Aku tak sadarkan diri.
Aku terbangun di atas tempat tidur di sebuah kamar rumah sakit dengan memar di pelipis dan tanganku. Aku melihat sekeliling dan mencari Alan. Ibu mengerti gelagatku dan mengantarku ke ruang ICU. Aku lihat Alat terbaring disana menatapku dengan senyuman. Aku membalasnya dengan tersenyum sambil berurai air mata. Itu adalah senyum terkhir Alan sebelum beberapa detik kemudian dia menutup matanya.
Hari itu di antara hujan aku berada di pemakaman Alan. Menangis tersedu-sedu seakan tak percaya dia telah tiada. Hari ini hujan menemaniku dalam kesedihan dan membuatku kehilangan orang yang sangat aku sayang.
“Tenanglah aku akan menjagamu dan menyayangimu selalu.” Suara lirih berbisik di telingaku.
Aku menoleh namun tak ku dapati siapapun di belakangku. Mulai detik itu juga aku membenci saat ketika hujan datang.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar